Sabtu, 31 Juli 2010

PERTOLONGAN PERTAMA KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATUS

B. KEGAWATDARURATAN NEONATUS

Neonatus adalah organism yang berada pada periode adaptasi kehidupan intrauterin ke ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan(lebih tepat 4 minggu atau 28 hari setelah lahir).

Kondisi neonatus yang memerlukan resusitasi :

1. Sumbatan jalan napas akibat lender/ darah/mekonium atau akibat lidah yang jatuh ke posterior.

2. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu. Misalnya, obat anestesik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya.

3. Kerusakan neurologis.

4. Kelainan/ kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan/ atau kalainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan/ sirkulasi.

5. Syok hipovolemik, misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan.

Penyebab kematian yang paling cepat pada neonates adalah asfiksia dan perdarahan. Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat jangka panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini diketahui sebelum kelahiran (mis; pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi/ oksigenasi janin intrauterine atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi.

Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam beberapa fase/ tahapan.

1. Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan

2. Masa henti napas (fase henti napas primer).

3. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul pernapasan megap-megap yang kedua selama 4-5 menit (fase gasping kedua) diikuti masa henti napas kedua (henti napas sekunder).

Semua neonates dalam keadaan apapun mempunyai kesukaran untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan yang dingin. Neonates yang mengalami asfiksia khususnya, mempunyai system pengaturan suhu yang lebih tidak stabil dan hipotermia ini dapat memperberat/ memperlambat pemulihan keadaan asidosis yang terjadi.

Keadaan bayi pada menit ke-1 dan ke-5 sesudah lahir dinilai dengan skor Apgar (appearance, pulse, grimace, activity, respiration). Nilai pada menit pertama untuk menentukan seberapa jauh diperlukan tindakan resusitasi. Nilai ini berkaitan dengan keadaan asidosis dan kelangsungan hidup. Nilai pada menit kelima untuk menilai prognosis neurologis.

Asfiksia berat (nilai Apgar 0-3) diatasi dengan memperbaiki ventilasi paru dengan memberi oksigen tekanan langsung dan berulang. Ada pembatasan dalam penilaian Apgar ini.

1. Resusitasi segera dimulai jika diperlukan dan tidak menunggu sampai ada penilaian pada menit pertama.

2. Keputusan perlu tidaknya resusitasi maupun penilaian respons resusitasi cukup dengan menggunakan evaluasi frekuensi jantung, aktivitas respirasi, dan tonus neuromuscular, bukan dengan nilai Apgar total. Hal ini untuk menghemat waktu.

TABEL 10-1 Nilai Apgar

Tanda vital

0

1

2

Denyut jantung

Tidak terdengar

<>

>100/ menit

Pernapasan

Hilang

Lambat/ tidak teratur/ lemah

Normal, bayi menangis

Tonus otot

Flaksid

Sedang

Baik, gerakan aktif

Refleksi iritasi(distorsi wajah sebagai respons terhadap kateter aspirasi)

Tidak ada reaksi

Reaksi berkurang

Reaksi normal

Warna kulit

Biru atau pucat

Badan merah muda, ekstremitas biru

Seluruhnya merah muda

Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar.

1. Nilai Apgar menit pertama 7-10, biasanya bayi hanya memerlukan tindakan pertolongan berupa pengisapan lender atau cairan dari orofaring. Tindakan ini harus dilakukan secara hati-hati, karena pengisapan yang terlalu kuat/traumatic dapat menyebabkan stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.

2. Nilai Apgar menit pertama 4-6, hendaknya orofaring cepat diisap dan diberika oksigen 100%. Bayi diberi stimulasi sensorik dengan tepukan atau sentilan ditelapak kaki dan gosokan selimut kering ke punggung. Frekuensi jantung dan respirasi terus dipantau ketat. Jika frekuensi jantung menurun atau jika ventilasi tidak adekuat, harus diberikan ventilasi tekanan positif dengan kantong resusitasi dan sungkup muka. Jika tidak ada alat bantu ventilasi, gunakan teknik pernapasan buatan dari mulut ke hidung mulut.

3. Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang menunjukkan bayi mengalami depresi pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% sebanyak 40-50 kali per menit harus segera dilakukan. Kecukupan ventilasi dinilai dengan memerhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi bunyi napas. Jika frekuensi jantung tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi jantung harus dimulai. Frekuensi 100-120 kali per menit dengan 1 kali ventilasi setiap 5 kali kompresi (5:1).

Penyulit yang mungkin terjadi selama resusitasi meliputi hipotermia, pneumotoraks, trombosis vena, atau kejang. Hipotermia dapat memperberat keadaan asidosis metabolik, sianosis, gawat napas, depresi susunan saraf pusat, dan hipoglikemia. Pneumotoraks diatasi dengan pemberian ventilasi tekanan positif dengan inflasi yang terlalu cepat dan tekanan yang terlalu besar dapat menyebabkan komplikasi ini. Jika bayi mengalami kelainan membrane hialin atau aspirasi mekonium, resiko pneumotoraks lebih besar karena komplians jaringan paru lebih lemah. Tombosis vena diatasi dengan pemasangan infuse/ kateter intravena dapat menimbulkan lesi trauma pada dinding pembuluh darah, potensial membentuk thrombus. Selain itu, infus larutan hipertonik melalui pembuluh darah tali pusat juga dapat mengakibatkan nekrosis hati dan thrombosis vana.

Pencegahan hipotermia merupakan komponen asuhan neonatus dasar bayi baru lahir tidak mengalami hipotermia. Hipotermia terjadi jika suhu tubuh di bawah 36,5°C (suhu mormal pada neonates adalah 36,5-37,5°C) pada pengukuran suhu melalui ketiak. Bayi baru lahir mudah sekali terkena hipotermi. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut.

1. Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna.

2. Permukaan tubuh bayi relatif luas.

3. Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas.

4. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar ia tidak kedinginan.

Hipotermia pada bayi baru lahir timbul karena ada penurunan suhu tubuh yang dapat terjadi akibat:

1. Radiasi, yaitu panas tubuh bayi memancar ke lingkungan di sekitar bayi yang lebih dingin. Misalnya, bayi baru lahir diletakkan di tempat yang dingin.

2. Evaporasi, yaitu cairan ketuban yang membasahi kulit bayi menguap. Misalnya, bayi lahir tidak langsung dikeringkan dari air ketuban.

3. Konduksi, yaitu pidahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak dengan permukaan yang lebih dingin. Misalnya, popok/ celana bayi basah yang tidak langsung diganti.

4. Konveksi, yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara sekeliling bayi. Misalnya, bayi diletakkan dekat pintu/ jendela terbuka.

Tindakan pencegahan hipotermia meliputi ibu melahirkan di ruangan yang hangat, segera mengeringkan tubuh bayi yang lahir, segera meletakkan bayi di dada ibu dan kontak langsung kulit ibu dan bayi, dan menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh stabil.

Kejang dalam 1 jam pertama kehidupan jarang terjadi. Kejang dapat disebabkan oleh meningitis ensefalopati atau hipoglikemia berat. Pastikan bayi dijaga tetap hangat dengan membungkus bayi menggunakan selimut lembut, kering, dan mengenakan topi untuk menghindari kehilangan panas. Rujuk bayi segera ke tempat pelayanan kesehatan yang mempunyai NICU.

Jika bayi sianosis (biru) atau sukar bernapas (frekuensi <30>60 kali/ menit) beri oksigen melalui kateter hidung atau nasal prong. Jika suhu aksila turun di bawah 35°C, hangatkan bayi segera.

REFERENSI

Prof. Dr. Winjosastro Hanifa, SpOG. (2005). Ilmu Kebidanan, cetakan ketujuh, Ed.3. Jakarta: Pustaka Sarwono Prawiroharjo Yayasan Bina.

Prof. Dr. Heller Luz. (1997). Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri, Ed. 1. Jakarta: EGC Buku Kedokteran.

Prof. Dr. Basari Saifuddin, SpOG, Mph. (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatus. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

PERTOLONGAN PERTAMA KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATUS

A. KEGAWATDARURATAN OBSTETRI

Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan koagulopati obstetri.

1. Abortus

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari 20 minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda kehamilan, perdarahan hebat per vagina, pengeluaran jaringan plasenta dan kemungkinan kematian janin.

Pada abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak atau sedang, demam (menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum, dan kemungkinan syok. Terapi untuk perdarahan yang tidak mengancam nyawa adalah dengan Macrodex, Haemaccel, Periston, Plasmagel, Plasmafundin (pengekspansi plasma pengganti darah) dan perawatan di rumah sakit. Terapi untuk perdarahan yang mengancam nyawa (syok hemoragik) dan memerlukan anestesi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika kehilangan darah banyak. Pada syok berat, lebih dipilih keretase tanpa anestesi kemudian Methergin. Pada abortus pada demam menggigil, tindakan utamanya dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan pemberian infus.

2. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)

Penyebab gangguan ini adalah pembengkakan/ edematosa pada vili (degenerasi hidrofik) dan proliferasi trofoblast. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis yang ditemukan amenore, keluhan kehamilan yang berlebihan, perdarahan tidak teratur, sekret per vagina berlebihan. Pada hasil pemeriksaan, biasanya uterus lebih besar dari pada usia kehamilannya Karen ada pengeluaran kista. Kista ovarium tidak selalu dapat dideteksi. Pada mola kistik, hanya perdarahan mengancam yang boleh dianggap kedaruratan akut, akibatnya tindakan berikut tidak dapat dilakukan pada kejadian gawat-darurat.

Terapi untuk gangguan ini adalah segera merawat pasien di rumah sakit, dan pasien diberi terapi oksitosin dosis tinggi, pembersihan uterus dengan hati-hati, atau histerektomi untuk wanita tua atau yang tidak menginginkan menambah anak lagi, transfuse darah, dan antibiotika.

3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)

Penyebab gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi mekanis pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama di ampula, jarang terjadi kehamilan di ovarium. Diagnosis ditegakkan melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang lebih lama, perdarahan per vagina tidak teratur (tidak selalu).

Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral (abortus tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal, gejalanya sebagai berikut:

1. Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada abdomen bagian atas.

2. Abdomen tegang.

3. Mual.

4. Nyeri bahu.

5. Membran mukosa anemis.

Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin terjadi gangguan kesadaran.

Terapi untuk gangguan ini adalah dengan infuse ekspander plasma (Haemaccel, Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit secepatnya.

4. Plasenta previa

Plasenta previa adalah tertanamnya bagian plasenta ke dalam segmen bawah uterus. Penyebab gangguan ini adalah terjadi fase pergeseran/ tumpang tindihnya plasenta di atas ostium uteri internum yang menyebabkan pelepasan plasenta. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan gejala utama. Pasien ini mungkin tidak mengalami nyeri, perdarahan berulang atau kontinu dalam trimester tiga atau selama persalinan tanpa penyebab yang jelas.juga ditemukan uterus selalu lunak, abdomen tidak tegang, umumnya tanpa kontraksi persalina atau hanya sedikit. Keadaan umum pasien berhubungan dengan kehilangan darah. Sebagian besar bunyi jantung janin tetap baik, bunyi jantung yang tidak memuaskan atau tidak ada hanya pada kasus rupture plasenta atau pelepasan yang luas.

Tindakan pada plasenta previa

1. Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin, memberi oksigen, memasang infuse, member ekspander plasma atau serum yang diawetkan. Usahakan pemberian darah lengkap yang telah diawetkan dalam jumlah mencukupi.

2. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan setelah pengobatan syok dimulai.

3. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta letak rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.

4. Tindakan setelah melahirkan.

a. Cegah syok (syok hemoragik)

b. Pantau urin dengan kateter menetap

c. Pantau sistem koagulasi (koagulopati).

d. Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.

Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik. Pada kasus perdarahn yang banyak, pengobatan syok adalah dengan infuse Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah, diberikan 10 mg valium (diazepam) IM atau IV secara perlahan.

5. Solusio (Abrupsio) Plasenta

Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta yang tertanam normal pada dinding uterus baik lengkap mauppun parsial, pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Penyebabnya adalah hematoma retroplasenta akibat perdarahan dari uteri (perubahan dinding pembuluh darah), peningkatan tekanan di dalam ruangan intervillus ditingkatkan oleh hipertensi atau toksemia. Diagnosis ditegakkan melalui temuan nyeri (akibat kontraksi peralinan sering ada sebagai nyeri kontinu, uterus tetanik), perdarahan per vagina (jarang ada dan dalam kasus berat, perdarahan eksternal bervariasi), bunyi jantung jani berfluktuasi (hampir selalu melebihi batas-batas norma, umumnya tidak ada pada kasus berat), syok (nadi lemah, cepat, tekanan darah rendah, pucat, berkeringat dingin, ekstremitas dingin, kuku biru).

Penderita yang disangka menderita solusio plasenta dengan pendarahan genetalia selama kehamilan lanjut, persalinan harus di rumah sakit. Selama solusio plasenta, dapat terjadi hal-hal berikut:

1. Perdarahan yang mengancam nyawa dan syok.

2. Tromboplasti yang diikuti oleh apopleksi uteroplasenta.

3. Gagal ginjal akut, pada kasus anuria atau oligouria yang lebih ringan, pada kasus ginjal syok yang berat dan nekrosis korteks ginjal.

4. Infuse amnion (sangat jarang).

Tindakan yang dilakukan di tempat praktik dokter harus hati-hati ketika melakukan pemeriksaan luar, harus menghindari pemeriksaan vagina. Di tempat praktik dokter, biasanya sangat sulit membedakan dengan jelas solusio plasenta dari plasenta previa. Pasien diberi infuse Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel, dan Plasmafudin, serta petidin (Dolantin) 100 mg IM. Tindakan di rumah sakit meliputi pemeriksaan umum yang teliti (nadi, tekanan darah, jumlah perdarahan per vagina, penentuan hemoglobin, hematokrit dan pemantauan pengeluaran urin).

Profilaksis untuk syok dengan mulai memberi infuse, menyediakan darah lengkap yang diawetkan, pemeriksaan golongan darah dan profil koagulasi. Pemeriksaan vagina, pada perdarahan hebat pecahkan selaput ketuban tanpa memandang keadaan serviks dan nyeri persalinan. Tindakan ini harus diikuti dengan infuse oksitosin (Syntocinon) 3 unit per 500 ml. Penghilangan nyeri dan sedative untuk profilaksis syok menggunakan dolantin (Petidin), novalgin (Noraminodopirin) IV, talwin (Pentazosin) IV dan IM.

Tindakan tambahan pada janin yang hidup dan dapat hidup adalah dengan seksio sesaria. Pada janin yang mati, usahakan persalinan spontan. Jika perlu, ekstraksi vakum atau kraniotomi pada perdarahan yang mengancam nyawa (juga pada janin yang mati atau tidak dapat hidup).

6. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)

Penyebab gangguan ini adalah retensio (nyeri lahir yang kurang kuat atau perlengkapan patologi) dan inkarserasi (spasme pada daerah isthmus serviks, sering disebabkan oleh kelebihan dosis analgesik). Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.

Terapi untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit Syntocinon (oksitosin) IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran secara hati-hati dengan tekanan pada fundus. Jika plasenta tidak lahir, usahakan pengeluaran secara manual setelah 15 menit. Jika ada keraguan tentang lengkapnya plasenta,lakukan palpasi sekunder.

7. Ruptur Uteri

Penyebab rupture uteri meliputi tindakan obstetric (versi), ketidakseimbangan fetopelvik, letak lintang yang diabaikan kelebihan dosis obat untuk nyeri persalinan atau induksi persalinan, jaringan parut pada uterus (keadaan setelah seksio sesaria, meomenukleasi, operasi Strassman, eksisi baji suetu tuba), kecelakaan (kecelakaan lalu lintas), sangat jarang.

Rupture Uteri mengancam (hampir lahir) diagnosis melalui temuan peningkatan aktifitas kontraksi persalinan (gejolak nyeri persalinan), terhentinya persalinan, regangan berlebihan disertai nyeri pada segmen bawah rahim (sering gejala utama), pergerakan cincin Bandl ke atas, tegangan pada ligament rotundum, dan kegelisahan wanita yang akan bersalin.

Rupture yang sebenarnya didiagnosis melalui temuan adanya kontraksi persalinan menurun atau berhenti mendadak (munculnya sebagian atau seluruh janin kedalam rongga abdomen yang bebas), berhentinya bunyi jantung atau pergerakannya atau keduanya, peningkatan tekanan akibat arah janin, gejala rangsangan peritoneal (nyeri difus, muscular defence, dan nyeri tekan) keadaan syok peritoneal, perdarahan eksternal (hanya pada 25% kasus), perdarahan internal (anemia, tumor yang tumbuh cepat disamping rahim yang menunjukkan hematoma karena rupture inkompletus/ terselubung).

Rupture tenang didiagnosis melalui temuan setiap keadaan syok yang tidak dapat dijelaskan pada inpartum atau pasca partum dan harus dicurigai dibsebabkan oleh ruptur uteri.

Terapi untuk gangguan ini meliputi hal-hal berikut.

1. Histerektomi total, umumnya rupture meluas ke segmen bawah uteri, sering ke dalam serviks.

2. Hesterektomi supra vagina hanya dalam kasus gawat darurat.

3. Membersihkan uterus dan menjahit rupture, bahaya rupture baru pada kehamilan berikutnya sangat tinggi.

4. Pada hematoma parametrium dan angioreksis (ruptur pembuluh darah). Buang hematoma hingga bersih, jika perlu ikat arteri iliaka hipogastrikum.

5. Pengobatan antisyok harus dimulai bahkan sebelum dilakukan operasi.

8. Perdarahan Pascapersalinan

Penyebab gangguan ini adalah kelainan pelepasan dan kontraksi, rupture serviks dan vagina (lebih jarang laserasi perineum), retensio sisa plasenta, dan koagulopati. Perdarahan pascapersalinan tidak lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama, kehilangan darah 500 ml atau lebih berarti bahaya syok. Perdarahan yang terjadi bersifat mendadak sangat parah (jarang), perdarahan sedang (pada kebanyakan kasus), dan perdarahan sedang menetap (terutama pada ruptur). Peningkatan anemia akan mengancam terjadinya syok, kegelisahan, mual, peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan tekanan darah.

Terapinya bergantung penyebab perdarahan, tetapi selalu dimulai dengan pemberian infuse dengan ekspander plasma, sediakan darah yang cukup untuk mengganti yang hilang, dan jangan memindahkan penderita dalam keadaan syok yang dalam. Pada perdarahan sekunder atonik:

1. Beri Syntocinon (oksitosin) 5-10 unit IV, tetes oksitosin dengan dosis 20 unit atau lebih dalam larutan glukosa 500 ml.

2. Pegang dari luar dan gerakkan uterus ke arah atas.

3. Kompresi uterus bimanual.

4. Kompresi aorta abdominalis.

5. Lakukan hiserektomi sebagai tindakan akhir.

9. Syok Hemoragik

Penyebab gangguan ini.

1. Perdarahan eksterna atau interna yang menyebabkan hiposekmia atau ataksia vasomotor akut.

2. Ketidakcocokan antara kebutuhan metabolit perifer dan peningkatan transpor gangguan metabolic, kekurangan oksigen jaringan dan penimbunan hasil sisa metabolik yang menyebabkan cidera sel yang semula reversibel kemudian tidak reversibel lagi.

3. Gangguan mikrosirkulasi.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tekanan darah dan nadi; pemeriksaan suhu, warna kulit, dan membrane mukosa perbedaab suhu antara bagian pusat dan perifer badan; evaluasi keadaan pengisian (kontraksi) vena dan evaluasi palung kuku; keterlambatan pengisian daerah kapiler setelah kuku ditekan; dan ekskresi urin tiap jam.

Setiap penderita syok hemoragik di rawat di rumah sakit. Terapi awal syok bertujuan mengembalikan hubungan normal antara volume kecepatan denyutjantung dan kebutuhan perifer yang sebenarnya.

10. Syok Septik (Bakteri, Endotoksin)

Penyebab gangguan ini adalah masuknya endotoksin bakteri gram negative (coli, proteus, pseudomonas, aerobakter, enterokokus). Toksin bakteri gram positif (streptokokus, Clostridium welchii) lebih jarang terjadi. Pada abortus septic, sering terjadi amnionitis atau pielonefritis. Adanya demam sering didahului dengan menggigil, yang diikuti penurunan suhu dalam beberapa jam, jarang terjadi hipotermi. Tanda lain adalah takikardia dan hipotensi yang jika tidak diobati hamper selalu berlanjut ke syok yang tidak reversible. Gangguan pikiran sementara (disorientasi) sering tidak diperhatikan. Nyeri pada abdomen (obstruksi portal dan ekstremitas yang tidak tegas). Ketidakcocokan antara gambaran setempat dan keparahan keadaan umum. Jika ada gagal ginjal akut dapat berlanjut ke anuria. Trobopenia sering terjadi hanya sementara.

Terapi untuk gangguan ini adalah tindakan segera selama fase awal. Terapi tambahan untuk pengobatan syok septic (bakteri) selalu bersifat syok hipovolemik (hipovolemia relatif) adalah terapi infuse secepat mungkin yang diarahkan pada asidosis metabolik. Terapi untuk infeksi adalah antibiotika (Leucomycin, kloramfenikol 2-3 mg/hari, penisilin sampai 80 juta satuan/ hari). Pengobatan insufisiensi ginjal dengan pengenalan dini bagi perkembangan insufisiensi ginjal, manitol (Osmofundin). Jika insufisiensi ginjal berlanjut 24 jam setelah kegagalan sirkulasi, diperlukan dialysis peritoneal.

11. Preeklamsia Berat

Istilah eklamsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “halilintar”. Kata tersebut dipakai karena seolah-olah gejala eklamsia terjadi dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain. Pada wanita yang menderita eklamsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma. Bergantung pada saat timbulnya, eklamsia dibedakan menjadi eklamsia gravidarum, eklamsia parturientum, dan eklamsia puerperalis.

Jika salah satu diantara gejala atau tanda berikut ditemukan pada ibu hamil, dapat diduga ibu tersebut mengalami preeklamsia berat.

1. Tekanan darah 160/110 mmHg.

2. Oligouria, urin kurang dari 400 cc/ 24 jam.

3. Proteinuria, lebih dari 3g/ liter.

4. Keluhan subyektif (nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, edema paru, sianosis, gangguan kesadaran).

5. Pada pemeriksaan, ditemukan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina, dan trombosit kurang dari 100.000/ mm.

Diagnosis eklamsia harus dapat dibedakan dari epilepsy, kejang karena obat anesthesia, atau koma karena sebab lain seperti diabetes. Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin.

Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan :

1. Larutan magnesium sulfat 40% sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikkan intra muskulus pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap jam menurut keadaan. Obat tersebut selain menenangkan juga menurunkan tekanan darah dan meningkatkan dieresis.

2. Klorpomazin 50 mg intramuskulus.

3. Diazepam 20 mg intramuskulus.

Penanganan kejang dengan memberi obat anti-konvulsan, menyediakan perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, masker,dan balon oksigen), memberi oksigen 6 liter/menit, melindungi pasien dari kemungkinan trauma tetapi jangan diikat terlalu keras, membaringkan pasien posisi miring kiri untuk mengurangi resiko respirasi. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorok jika perlu.

Penanganan umum meliputi :

1. Jika setelah penanganan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, beri obat anti hipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90-100mmHg.

2. Pasang infus dengan jarum besar (16G atau lebih besar).

3. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload cairan.

4. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria.

5. Jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam, hentikan magnesium sulfat dan berikan cairan IV NaCl 0,9% atau Ringer laktat 1 L/ 8 jam dan pantau kemungkinan edema paru.

6. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.

7. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung tiap jam.

8. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.

9. Hentikan pemberian cairan IV dan beri diuretic (mis: furosemid 40 mg IV sekali saja jika ada edema paru).

10. Nilai pembekuan darah jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit (kemungkinan terdapat koagulopati).